Visiting Profesor, Penguatan Revolusi Mental pada Ranah Pendidikan dan Keluarga Islam Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Program Pascasarjana (PPs) STAIN Pekalongan menyelenggarakan kegitan visiting professor dengan mengundang Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan, M.A. Hadir dengan tema “Penguatan Revolusi Mental pada Ranah Pendidikan dan Keluarga Islam Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN”, beliau menyampaikan perlunya peningkatan kompetensi civitas academica muslim yang ada di Indonesia. Hal tersebung beliau segarkan kembali, mengingat banyak sekali harapan akademisi termasuk peneliti-peneliti Barat yang memprediksi berkembangnya tradisi keilmuan Islam di Asia Tenggara.

“Bagaimana memajukan Islam?” tanya beliau, yang sekarang menjabat Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI. “yaitu dengan membangun tradisi intelektualitas akademik”, jawabnya. Kampus dalam hal ini memegang peranan yang sangat strategis untuk menciptakan serta menyebarkan budaya tersebut di lingkungan masyarakat. Bahkan pada tingkatan Pascasarjana, harus mampu menjadi merkusuar untuk mampu memproyeksikan isu-isu masa depan dan memberikan alternatif-alternatif bagi permasalahan masyarakat. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Program Pascasarjana (PPs) STAIN Pekalongan Dr. Muhlisin, M.Ag., dalam sambutannya; “Harapannya kegiatan Visiting Profesor ini mampu meningkatkan atmosfer akademik bagi mahasiswa”.

Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan, M.A. juga mengingatkan, selama ini ilmuwan-ilmuwan muslim tidak bisa berkoordinasi dan membentuk satu komunitas ilmu sebagaimana yang terjadi pada masa keemasan keilmuan islam dulu. Pada masa itu peradaban Islam menjadi lentera bagi perkembangan peradaban dunia, karena mampu mensinergikan perkembangan ilmu secara integratif. Isu-isu ilmu pengetahuan bahkan didiskusikan pada satu tempat secara bersamaan. Ini bukan sebuah romantisme, tapi menyadari sejarah bukan hanya mengagung-agungkan masa lalu, tapi menempatkannya sebagai motivasi,

Tradisi menulis juga harus ditingkatkan. Selama ini para ulama lebih cenderung menyampaikan ilmu dalam mimbar saja, sehingga masyarakat bukan hanya menjadi “penikmat hasil”. Masyarakat perlu dituntun masuk ke dalam tradisi kritis, analitis dan metodis, sehingga masyarakat juga bisa memahami metode, mengembangkan pendekatan bahkan ikut serta ber-ijtihad dalam permasalahan-permasalahan sosial.

Namun demikian, ulama-ulama pemikir revolusioner baru ini harus tetap bisa menyeimbangkan antara aspek pola pikir, hati, rasa dan raga agar menjadi muslim pemikir yang bisa berkontribusi secara penuh. Contohnya; “Seorang ilmuwan yang kuat dalam olah pikir namun lemah hati, akan keblinger dan nir-humanitas” tandas beliau. Seorang cendekiawan bukan hanya hidup dalam lingkungannya sendiri yang tertutup dari lingkungan masyarakat atau komunitas keilmuan yang lain, maka perlu adanya interaksi rasa. Demikian juga dengan olah raga, sebagai bekal mobilitas melaksanakan pengabdian keilmuan membutuhkan badan yang sehat.